ALKISAH, di zaman dulu kala ada orang sedang membajak sawah. Ketika sapi dan alat bajaknya berputar-putar mengelilingi area sawah, tiba-tiba sapinya terhenti. Orang itu lalu melakukan pemeriksaan, apa gerangan yang menyebabkan sapinya berhenti mendadak? Betapa kagetnya ia, begitu mengetahui alat bajak itu tersangkut sebujur mayat dengan kondisi jasad masih utuh.
Cerita di atas saya peroleh langsung dari bapak saya. Menurut abah (demikian anak-anaknya memanggil beliau), hikayat tentang makam Mbah Kabakal itu beliau terima secara turun-temurun.
βBah, Makam Mbah Kalbakal itu sebenarnya siapa?β
βWaktu abah masih kecil, sebagian masyarakat mengatakan beliau itu Sayyid.β
βGak tahu. Pokoknya yang abah dengar, ya Sayyid gitu aja.β
Itulah sekelumit dialog saya dengan abah tentang Makam Mbah Kalbakal yang lokasinya persis di belakang Ponpes Tarbiyatul Wathon
, Desa Campurejo, Kec. Panceng, Kab. Gresik. Awalnya, masyarakat kami menyebutnya Mbah Cikal Bakal (artinya; pendiri desa). Mungkin untuk memudahkan pengucapan, warga desa akhirnya menjulukinya Mbah Kalbakal.
SEJAK saya masih bocah, makam ini sebenarnya sudah ada. Bahkan di masa orangtua, kakek, buyut saya kuburan ini sangat jelas keberadaanya. Bisa dikata, makam ini bukan baru ditemukan. Hanya saja tidak terawat dengan baik dan tak ada tanda-tanda orang berziarah.
Konon, dari warta yang saya peroleh dari beberapa rekan, sebetulnya ada segelintir warga yang pernah berziarah, tapi itupun secara sembunyi-sembunyi. Hal itu bisa dimaklumi, karena stigma buruk yang cukup melekat di masyarakat terhadap makam ini sangat kental. Misalnya; orang yang ke makam ini biasanya mencari nomor perjudian, minta pesugihan, memohon pengasihan, dll.
Dalam ingatan masa kecil saya, makam ini tampak jelas dari ruas jalan ketika saya hendak menuju ke lapangan desa, entah itu untuk bermain bola atau melihat pertandingan sepak bola. Posisi makam berada di area tengah sawah. Sebelah utara makam, tampak ada gubuk bambu yang berfungsi sebagai tempat istirahat sang penjaga sawah.
Seiring bergeraknya zaman perladangan itu pelan-pelan mulai beralih fungsi menjadi perumahan warga. Umumnya dari desa sebelah yang kekurangan lahan. Rumah-rumah lalu muncul berderet dengan batas tembok yang sesak. Makam ini kemudian tak lagi terlihat dari jalan karena tertutup oleh hunian padat.
PADA Maret 2011, hasil rapat pengurus Yayasan Tarbiyatul Wathon Gresik menyepakati pembangun musala, yang akan dilanjutkan pembangunan pondok pesantren.
(Sekedar catatan: Awalnya, Tarbiyatul Wathon hanya berupa lembaga formal/madrasah; TK/PAUD, MI, MTs, MA, Diniyah. Pada 2008, kepengurusan mengalami perubahan menjadi Yayasan Tarbiyatul Wathon Gresik. Sejak adanya yayasan itulah, tepatnya tahun 2014 berdiri pondok pesantren).
Nah, kebetulan tanah wakaf dari keluarga Almagfurlah H. Roβyuddin (kakek saya) yang mau dibangun untuk musala pesantren itu letaknya ada di belakang madrasah. Karena berupa rawa, maka tanah seluas kisaran 40x60 meter itu tentu butuh diuruk terlebih dahulu dan urukan yang dibutuhkan tentu saja tak sedikit, kisaran 300 ritase truk.
Jika truk lewat dari pintu gerbang Tarbiytaul Wathon, jelas tidak mungkin, karena harus menjebol (mengorbankan) satu lokal kelas. Padahal jumlah lokal yang ada tak satupun yang tersisa. Kami pun akhirnya sepakat bahwa truk uruk akan melewati jalan menuju lapangan, melalui tanah kosong kemudian melewati samping makam Mbah Kalbakal yang hanya seorang diri dan tak ada makam yang lainnya.
Sebelum truk urukan didatangkan, saya survei lokasi terlebih dulu. Setelah itu saya menyempatkan diri duduk bersila di makam ini; mohon izin dan restu kepada pendiri desa. Itulah untuk kali pertama sejak saya lahir sampai dibesarkan di desa ini, berziarah ke makam Mbah Kalbakal, tepat di usia 33 tahun.
Makam Mbah Kalbakal, kala itu, hanya dikelilingi bata putih berbentuk kotak persegi panjang seluas 2x4 meter, baik ukuran ataupun warnanya terlihat sudah sangat lama. Bata putih itu hanya ditumpuk begitu saja tanpa pengikat pasir dan semen.
Di dalam kotak itu, saya melihat beberapa batang kayu yang sudah lapuk dan genteng merah yang dijajar menyandar ditembok bata putih. Saya menduga kayu dan genteng itu adalah bekas cungkup yang sudah rapuh dan akhirnya roboh.
Di samping kanan-kiri kotak makam terlihat berbagai jenis sampah berserakan dimana-mana. Mulai dari sampah rumah tangga, pecahan kaca, keramik, sampai-sampai ada pula jenis sampah dari kotoran manusia yang dibungkus plastik kresek. Sungguh memprihatinkan.
PEMBANGUNAN Musala Tarbiyatul Wathon berjalan 2 bulan dan sudah mencapai pondasi dan tiang penyangga.
Tiba-tiba sersiar kabar, keluarga Mbah H. Dullah, pemilik lahan yang dipergunakan Mbah Kalbakal sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, mewakafkan tanahnya ke pemerintahan desa (Lurah saat itu H. Aminuddin Aziz). Dengan harapan agar dibangun mushala bagi warga setempat. Pihak desa lalu menyerahkan pembangunan kepada masyarakat sekitar makam.
Karena pihak Yayasan Tarbiyatul Wathon sudah telebih dahulu membangun musala di timur makam, maka kami (pengurus yayasan dan warga sekitar makam) kemudian bersinergi membangun secara bersama-sama.
Bisa dimaklumi, karena antara makam Mbah Kalbakal dan musala Tarbiyatul Waton hanya berjarak 15 meter. Maka, kami membangun dua musala secara bersamaan. Yang satu untuk pondok dan yang satunya lagi untuk masyarakat sekitar.
03 Juli 2011, mushala dan makam Mbah Kalbakal mulai dibangun. Beruntung, saat itu saya sudah memegang hp camera. Di hari pertama tukang memulai perkerjaannya, saya sempat mengabadikan kondisi awal makam sebelum direnovasi. Andai saja saya lupa memotret, bisa hilang prasasti lama yang sangat bersejarah ini.
Nah, sekitar seminggu pembangunan berlangsung, saya mengalami kejadian ganjil. Waktu saya memantau pekerjaan tukang, di telinga kanan saya ada suara orang sepuh berbisik lembut dan lirih; βLe, deresen maneh Qurane.β (Nak, Alquran-nya dibaca lagi).
Terus terang saya kaget. Sebab tak ada seorang pun di sekitar saya. Sambil toleh-toleh saya pun bertanya-tanya dalam hati: suara siapakah gerangan yang mengingatkan saya tadi? Seumur hidup baru kali ini saya mengalaminya.
Sekitar sepuluh menit setelah peristiwa aneh itu, saya lalu menjauh dari area makam menuju ke sisi selatan, tepatnya di tepi tambak yang terhampar cukup luas. Saya lalu duduk dan merenung seorang diri. Di situlah saya merasa banyak sekali amaliah yang kerap diajarkan oleh orangtua, guru, kiai di pondok dulu, telah lama saya tinggalkan, salah satunya adalah mendaras Alquran.
Jujur, saya baru tersadar; ternyata selama ini saya terlena dan hanya disibukkan oleh pekerjaan. Cari uang dan uang. Alhamdulillah, pasca kejadian janggal itu saya mulai berbenah diri. Pelan-pelan saya mulai mengaji Alquran lagi. Minimal tiga surah yang termaktub dalam Majemuk Lathif; Surah Yasin, Waqiah, dan Al-Mulk.
KAMI bersyukur, pembangunan musala dan Makam Mbah Kalbakal berjalan dengan lancar. Bahkan, pertengahan proses pembangunan, keluarga Mbah H. Dullah menambah satu kapling tanah persis di depan makam yang bisa difungsikan sebagai tempat untuk para peziarah.
Dimulai Juni dan berakhir di awal Desember 2011, pembangunan tiga fungsi dalam satu atap; musala, makam, dan tempat peziarah, dapat kami dirampungkan. Panitia merasakan banyak sekali kemudahan tak terduga selama perjalanan pembangunan enam bulan berjalan. Termasuk dari hamba-hamba Allah yang merelakan sebagian hartanya untuk dijariyahkan.
Pasca pembangunan, panitia kemudian melakukan rapat dan menghasilkan keputusan akan menggelar acara haul, peresmian, sekaligus peringatan 1 Muharrom, pada 12 Desember 2011. Panitia juga sepakat akan mengundang H. Khusairi, ahli Seni Kentrung asal Solokuro, Lamongan.
Di wilayah Gresik dan Lamongan, nama H. Khusairi sangat masyhur sebagai pakar Seni Kentrung. Karena keahliannya itu, ia kerap diundang di desa-desa sekitar wilayah pantura. Pria paruh baya, yang konon masih bersambung nasabnya dengan Sunan Drajat itu, piawai memainkan Seni Kentrung dengan diiringi alat musik berupa tabuh timlung (kentheng) dan terbang besar (rebana).
Seni Kentrung sarat muatan ajaran kearifan lokal. Dalam pementasannya, seorang seniman kentrung menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan dan menyelipkan candaan-candaan lucu di tengah-tengah pakem, tetapi tetap dengan parikan yang seolah dilakukan di luar kepala.
Masih lekat dalam ingatan saya, dalam pementasan Seni Kentrung itu, H. Khusairi bercerita tentang banyak hal. Diantaranya; Syekh Subakir ke tanah Jawa membawa 1.000 ulama dari Timur Tengah. Karena saking ganasnya demit setan peripayangan (istilah jawanya: jalmo moro jalmo mati), ulama yang dibawa Syekh Subakir tersebut meninggal semua. Yang tersisa hanya sepuluh orang, dan salah satunya di makamkan di tempat ini. Selain itu, dia juga memaparkan bahwa semua wali songo pernah berziarah ke makam ini.
Ketika cerita-cerita di atas itu saya tanyakan kepadanya, kala bersilaturrahmi ke rumahnya, beliau hanya menjawab, βSaya tak faham. Seringkali ketika Seni Kentrung dimulai saya gak sadar dengan apa yang saya ceritakan.β
Tapi, kata H. Khusairi, sehari sebelum menghadiri undangan, malam harinya ia biasanya melakukan riyadhoh terlebih dulu di rumah. Hal tersebut adalah tahapan penting yang harus dijalani sebelum menggelar pertunjukan Seni Kentrung. Tata cara itu tak boleh diabaikan begitu saja karena merupakan warisan leluhurnya sejak dari Sunan Drajat.
Malam itu (12/12/2011), perhelatan peresmian musala dan makam Mbah Kalbakal berlangsung dengan cukup khidmat. Acara dipungkasi dengan doa oleh KH. Abu Bakar dari Jatirogo, Tuban. Ketika memimpin doa, suara lembut Kiai Abu Bakar begitu menusuk di kalbu. Di tengah-tengah doa tak terasa mata saya berkaca-kaca.
PADA 2013, panita mengadakan haul ke-2 sekaligus peringatan 1 Muharram. KH. Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali) yang diundang sebagai penceramah berkenan hadir dan memberikan tausiyah. Pengasuh ponpes Bumi Sholawat, Sidoarjo, itu menyampaikan beberapa pencerahan yang cukup panjang lebar.
Namun, saat beliau mau menyebutkan nama asli siapa sesungguhnya yang ada makam ini, tiba-tiba mikrofon yang dipegang Gus Ali terjatuh. Setelah mengambil mikrofon dari lantai, beliau berkata; βWes yo, gak tak terosno... jenenge Kalbakal iku wae. Sepurane, beliau gak berkenan disebut asmane,β (Ya udah tidak usah saya teruskan. Namanya Kalbakal itu aja. Mohon maaf, beliaunya tidak berkenan disebut namanya).
Acara pada Desember 2013 itu berlangsung dengan lancar dan menggembirakan. Lagi-lagi KH. Abu Bakar didaulat untuk memimpin doa. Setelah acara, para kiai dan tokoh masyarakat yang hadir berkumpul bersama di rumah Ibu Tutik Mahmudah
untuk melaksanakan ramah-tamah. SEJAK 2014, KH. Abu Bakar adalah salah satu kiai yang kerap berziarah ke makam ini. Beliau tergolong kiai sepuh yang sudah malang melintang di dunia persarkuban. Nama beliau sangat masyhur di kalangan pecinta makam (sarkub). Namanya juga termaktub dalam prasasti pengukuhan makam Maulana Ishak (ayah Sunan Giri) yang berada di Kemantren, Paciran, Lamongan.
Jika ke makam ini, Kiai Abu Bakar terkadang hanya berdua dengan santrinya atau supirnya. Sesekali beliau bersama sahabatnya sesama kiai. Seingat saya, salah satu kiai yang pernah diajak oleh beliau adalah KH. Abdul Matin (Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim dan Ketua Umum MUI Tuban serta Pengasuh Ponpes Sunan Bejagung, Tuban).
Setiap kali Kiai Abu Bakar ke makam ini, hampir dapat dipastikan selalu mengabari saya. Beberapa kali kami menghabiskan malam bersama ditemani kopi dan gorengan. Tak jarang warga sekitar juga ikut bercengkrama. Biasanya, kami hanya menjadi pendengar setia ketika beliau menceritakan makam-makam auliyaβ yang pernah diziarahinya.
Suatu malam, Kiai Abu Bakar bercerita bahwa salah satu tugas terberat Mbah Kalbakal adalah menaklukkan bajak laut. Padahal bajak laut zaman dahulu kala terkenal sakti mandraguna. Atas kuasa Allah, Mbah Kalbakal berhasil menaklukan kebrangasan mereka. Bahkan, konon tak sedikit diantara bajak laut itu insaf kemudian menjadi santrinya.
Pada suatu malam yang lain, setelah riyadhah di makam ini, beliau bercerita tentang hasil riyadhahnya: βSelama hampir berpuluh-puluh tahun saya berpetualang dari makam satu ke makam lainnya, inilah makam yang saya cari-cari.β
Makam ini, menurut Kiai Abu Bakar, memiliki nasab yang paling tinggi ke Rasulullah SAW.β Saya, yang saat itu ditemani adik Muhammad Syifa'
, begitu khusyuk mendengarkan pitutur-pitutur beliau, sambil sesekali nyeruput kopi yang ada di depan kami. ITULAH beberapa cerita yang bisa saya rangkum tentang sejarah pembangunan makam dan sedikit menyingkap siapa sejatinya Mbah Kalbakal. Penulisan ini adalah wujud dari ikhtiar agar hikayat-hikayat yang saya ketahui tak semakin tercecer dan hilang dalam ingatan.
Ya... Karena lebih banyak mengandalkan ingatan itulah, maka tak heran jika di sana-sini ada saja yang terlewatkan dan terlupakan. Bahkan, tak menutup kemungkinan banyak mengandung kelemahan.
Setahu saya, khusus mengenai sejarah mengenal makam-makam auliya, ada tiga sumber rujukan sejarah. Pertama, mitos dan tuturan lisan turun-temurun. Kedua, sejarah resmi yang tertulis seperti manuskrib atau babad sejarah peninggalan masa lalu. Ketiga, wahyu dalam arti petunjuk atau informasi dari Allah. Dalam hal ini yang dimaksud di antaranya adalah ilham yang diterima oleh orang-orang saleh.
Nah, jika merujuk di atas, apakah Makam Mbah Kalbakal sudah memenuhi syarat?
TAK terasa, satu dasawarsa sudah pembukaan makam Mbah Kalbakal ini berlalu. Meski masih terkesan mesterius, tapi saya patut mengucapkan terima kasih atas kerawuhan tamu jauh yang sudah berkenan menziarahi makam ini.
Ada tamu dari Jogja, pengampu pondok Kaliopak: Kiai Muhammad Jadul Maula
. Ada pula kiai nyentrik asal Guluk-Guluk, Sumenep, Madura: Kiai M Faizi
. Akhir kalam, izinkan saya menceritakan salah satu pengalaman saya terkait dengan makam ini:
Sepulang dari ibadah haji 2012, sekitar dua minggu saya di rumah, kebetulan tamu pengunjung haji sudah mulai sepi. Kira-kira pukul 23.00 hasrat berziarah ke makam Mbah Kalbakal seakan tak terbendung.
Suara hati segera saya turuti dan saya pun segera berangkat ke makam. Tak lupa saya membawa minyak wangi, yang khusus saya beli di Madinah Al-Munawwarah dengan niatan memang akan saya tabur di makam ini. Setelah membaca Surah Yasin dan Tahlil, saya pun pulang karena rasa kantuk yang tak bisa ditahan lagi.
Sesampainya di rumah saya langsung tidur. Dalam tidur itu saya bermimpi. Posisi saya di hotel Madinah dimana saya menginap saat haji. Begitu keluar dari kamar, saya disambut sosok berjubah hijau. Wajahnya penuh dengan cahaya. Saya tak mampu menatapnya. Saya lalu masuk lagi ke kamar hotel.
Saya pun terbangun dan tak bisa tidur lagi...
Wallahu aβlam bish-shawabi.
Penulis: Ahmad Jauhari, Pengurus Yayasan Tarbiyatul Wathon Gresik.