Sabtu, 13 November 2021

π— π—˜π—‘π—–π—˜π—₯π—œπ—§π—”π—žπ—”π—‘ π— π—”π—žπ—”π—  π—ͺπ—”π—Ÿπ—œπ—¬π—¨π—Ÿπ—Ÿπ—”π—› π—œπ—§π—¨ π—£π—˜π—‘π—§π—œπ—‘π—š 𝗗𝗔𝗑 π—£π—˜π—₯π—Ÿπ—¨

β€œMakam ini orang Sholeh. Kalau bisa, ya dirawat,” tutur Romo KH. Abu Bakar kepada kami, tepat di depan makam Mbah Kalbakal untuk pertama kalinya pada bulan Maret di tahun 2011. Saat itu makam belum dibangun. Setelah itu, pertengahan Juli 2011 makam mulai dibangun dan rampung pengerjaannya di bulan Oktober 2011.







Romo KH. Abu Bakar adalah sosok kiai yang gemar berziarah dan riyadhoh di makam para Auliya'. Beliau tergolong kiai sepuh yang malang melintang di dunia permakaman. Karena itulah tak heran jika nama beliau cukup masyhur di kalangan pecinta makam. Namanya juga termaktub dalam prasasti pengukuhan Makam Maulana Ishak (ayah Sunan Giri) yang berada di Kemantren, Paciran, Lamongan.
Sebagaimana penuturan beliau kepada kami, di masa mudanya, kiai asal Jatirogo, Tuban, tersebut bersahabat kental dan sering berpetualang dari satu makam ke makam lainnya bersama: Gus Dur, Gus Miek, Mbah Kiai Burhan, Mbah Kiai Hambali Lasem, dan Mbah Kiai Shobib Jepara.
Nah, sejak 2014, Romo KH. Abu Bakar adalah salah satu kiai yang kerap berziarah dan ziyadhoh ke makam Mbah Kalbakal. Dalam kurun waktu enam bulan, hampir satu minggu atau dua minggu sekali beliau ke makam ini. Biasanya beliau memulai riyadhoh pukul 24.00 sampai menjelang shubuh.
Romo KH. Abu Bakar berkata: β€œMakam ini adalah makam yang selama ini saya cari-cari. Karena selama puluhan tahun berkelana dari makam ke makam lain di Indonesia, makam ini mempunyai garis nasab yang tertinggi ke Rasulullah SAW.”
Nah, dari hasil riyadhoh yang beliau lakukan diperolehlah sebuah petunjuk bahwa Makam Mbah Kalbakal sejatinya adalah: Sayyid Ali Ridha.
Semenjak itulah kami mulai berani memperkenalkan dan menceritakan Makam Sayyid Ali Ridha kepada publik via medsos. Sebab, hal itu sangat penting dan perlu. Sebagaimana tulis Fariduddin Attar dalam pengantar buku Tadzkiratul Auliya': β€œDengan menceritakan para wali, kita memberkahi diri dan tempat sekeliling kita.”
Sebuah hadis menyebutkan bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang amat dekat dengan Allah SWT. Bila mereka tiba di suatu tempat, karena kehadiran mereka, Allah selamatkan tempat itu dari tujuh puluh macam bencana. Para sahabat bertanya, β€œYa Rasulallah, siapakah mereka itu dan bagaimana mereka mencapai derajat itu?” Nabi yang mulia menjawab, β€œMereka sampai ke tingkat yang tinggi itu bukan karena rajinnya mereka ibadat. Mereka memperoleh kedudukan itu karena dua hal; ketulusan hati mereka dan kedermawanan mereka pada sesama manusia.”
Itulah karakteristik para wali. Mereka adalah orang yang berhati bersih dan senang berkhidmat pada sesamanya. Wali adalah makhluk yang hidup dalam paradigma cinta. Dan, mereka ingin menyebarkan cinta itu pada seluruh makhluk di alam semesta. Fariduddin Attar yakin, bahwa kehadiran para wali akan memberkahi kehidupan kita, baik kehadiran mereka secara jasmaniah maupun kehadiran secara ruhaniah.
Akhir kalam, kami tentu sangat bersyukur, ternyata di desa kami, tepatnya di belakang/barat almamater tercinta kami di Ponpes Tarbiyatul Wathon, Allah menganugerahkan makam salah satu kekasihNya.
Hal ini mengingatkan kami pada goresan Kiai M Faizi dalam puisi bertajuk β€œDi Maqbarah Tebuireng”: Alangkah bahagia engkau, Tanah / dipilih alim-ulama jadi maqbarah…
___________
Terima kasih pada para tamu peziarah yang tak bisa kami sebut satu persatu. Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza.

Penulis: Ahmad Jauhari, Pengurus Pondok Pesantren Tarbiyatul Wathon

Kamis, 18 Februari 2021

KH. RO’YUDDIN BIN SARIDLO


Campurejo merupakan nama sebuah Desa yang terletak di daerah pesisir utara pulau Jawa, masuk wilayah Kabupaten Gresik, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan. Penduduk yang berada di sepanjang pesisir sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai petani, pedagang, dan profesi lainnya.

Desa ini menyimpan segudang cerita tentang cikal bakal para ulama besar, yang di masa mudanya menimba dan mendalami ilmu agama, kemudian mereka berdakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai daerah dan istiqamah berdomisili di berbagai wilayah. Rata-rata mereka menjalani hidup dengan sederhana.

Berbicara soal β€œsederhana”, saya teringat sosok yang begitu bersahaja pendiri Ponpes Tarbiyatul Wathon, yaitu KH. Ro’yuddin, atau yang lebih dikenal dengan sebutan β€œMbah Din”, ada pula yang menyebutnya β€œMbah Raidin atau Mbah Saridin”. Membicarakan Mbah Din, maka selalu kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Almarhum Almaghfurlah KH. Moh. Akhwan Alwi (menantunya) pernah bercerita kepada saya sewaktu saya sowan ke ndalemnya. Dalam ceritanya, acap kali Mbah Din ketika tahu banyak bangku yang rusak langsung diperbaiki. Tiap kali ke madrasah selalu naik sepeda onthel sambil membawa alat-alat tukang; palu, paku, tang, gergaji, dan lain-lain.

Mbah Din merupakan sosok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap orang lain. Semua murid tidak luput dari pengawasan dan perhatiannya. Sering kali bersama murid-muridnya melakukan ro’an; menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, dan lain sebagainya. Bayangkan, seorang kiai sekaligus tokoh agama dan masyarakat masih menyempatkan melakukan pekerjaan yang menurut saya sepele tapi penting! Suatu tindakan yang jarang ditemui saat ini.

Dalam suatu riwayat, Gus Ahmad Jauhari (putra KH. Moh. Akhwan Alwi) yang kebetulan akrab dengan saya pernah bercerita, Sejak kecil Mbah Din sudah ditinggal wafat oleh bapaknya, yaitu Mbah Saridlo. Sejak itu beliau mondok di Pondok Pesantren Al Karimi Tebuwung Dukun yang diasuh oleh KH. Abdul Karim. Di sana beliau bertemu guru spiritual namanya KH. Murtadlo atau lebih dikenal dengan sebutan β€œMbah Tolo”. Riwayat lain juga pernah dituturkan oleh Gus Husein, beliau mengatakan bahwa KH. Murtadlo adalah adik kandung KH. Musthofa Kranji (Pendiri Ponpes Tarbiyatut Tholabah).

Setelah menempuh pendidikan di Ponpes Al Karimi, Mbah Din langsung mengabdikan diri mengajar ngaji di Musholla β€œAl Inayah” miliknya. Kemudian menikah dengan Nyai Hj. Ruqoyyah asal Tuban dan dikaruniai putra-putri sebanyak 11 orang. Namun  yang hidup sampai dewasa hanya 6 orang yaitu; Ahmad Zain Thoha, Zawawi Thoha, Abdul Mughni Thoha, Zuhdi Thoha, Sufyan Thoha dan Sulaihah Thoha. Pada waktu mengajar beliau dibantu oleh kedua putranya yaitu KH. Ahmad Zain Thoha dan KH. Zawawi Thoha yang waktu itu baru saja pulang dari Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji. Tidak lama berselang kedua putranya melanjutkan mondok lagi di Ponpes Tebuireng Jombang. Untuk menggantikannya mengajar di Musholla Al Inayah, beliau meminta bantuan kawan akrabnya di Ponpes Tarbiyatut Tholabah yaitu KH. Thohir. Menurut cerita Gus Husein (putra KH. Ahmad Zain Thoha), mengatakan bahwa KH. Thohir adalah kakak kandung KH. Moh. Baqir Adelan (Pengasuh Ponpes Tarbiyatut Tholabah).

Pada waktu KH. Ahmad Zain Thoha dan KH. Zawawi Thoha sowan ke ndalem Ponpes Tarbiyatut Tholabah untuk menjemput KH. Thohir, KH. Thohir sedang mondok di Langitan Tuban. Mengetahui KH. Thohir berada di Langitan, mereka langsung menyusulnya kesana dan meminta untuk mengajar di Musholla Al Inayah. Bertahun-tahun berjalan Musholla tersebut berkembang menjadi Pondok Pesantren Tarbiyatul Wathon.

Sisi lain dari kesederhanaan Mbah Din adalah terlihat dari pakaiannya. Semasa hidupnya pakaian beliau ala kadarnya laiknya seorang petani desa. Menurut pengakuan Gus Muhammad Syifa’ (Putra Ibu Sulaihah Thoha), mengatakan bahwa kebiasaan Mbah Din sewaktu di rumah ketika malam tiba dan telah sepi, beliau tidak langsung masuk kamar untuk tidur atau istirahat. Beliau lebih suka tidur di ruang depan, duduk-duduk atau mengambil tempat di lantai dan merebahkan tubuhnya. Beliau tidak pernah pilih-pilih tempat.

Mbah Din, dalam mengabdikan dirinya memperjuangkan agama, memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi problema. Beliau sangat ulet dan bersahaja dalam mendidik murid-muridnya. Tak heran, dikemudian hari banyak murid berdatangan dari berbagai daerah. Gus Muhammad Bisri (adik Gus Husein) pernah bercerita kepada saya, β€œMbah Din ketika mendidik murid-muridnya dan membimbing masyarakat setempat, dibantu oleh KH. Abdurrahman dari Payaman, yang waktu itu hijrah ke Campurejo karena menikah dengan kerabatnya. Mereka sudah biasa berbagi ide, pikiran, tenaga maupun materi”.

Selain itu, kenangan Mbah Din yang paling dikagumi banyak orang sampai sekarang adalah ketika membangun Gedung Tua Madrasah sebelah utara. Hanya dengan pasir laut dan minim perekat sampai sekarang masih tetap kokoh. Gedung Tua yang didirikan sejak sekitar tahun 1960-an itu dibangun secara gotong royong bersama para murid dan masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa Mbah Din dalam mengayomi masyarakat selalu menjunjung tinggi kebersamaan.

Demikian cerita singkat ini saya tulis dengan penuh kehati-hatian, mudah-mudahan ada guna dan manfaatnya. Atas segala kekurangan dan kesalahan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tak lupa kepada para pembaca yang budiman, kritik dan saran sangat penulis harapkan.

Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan memberkahi kita semua. Amin.

Campurejo, 15 Juli 2019

Penulis: Moh. Bahrul Ulum, Khodimul Ma'had Tarbiyatul Wathon

Jumat, 12 Februari 2021

SILATURRAHMI KE PONPES ASH SHOMADIYAH TUBAN

Seandainya, Gus
Atok Witono
, tak pernah mengunggah status tentang Ponpes Ash Shomadiyah, di akun Fb-nya, bisa jadi saya belum sampai ke pesantren ini.
Di postingan bertarikh 1 Februari 2021 itu, saya turut ditandai. Lumayan banyak komen yang mampir di unggahan itu. Salah satunya dari akun atas nama Elfash MY. Ia lalu nge-tag Gus
Dakhlan Ismail
di dalam salah satu komennya.
Karena rasa penasaraan, saya lalu chattingan dengan Gus Dahlan Ismail via inbox dan berlanjut saling tukar no WA. Nah, dari situlah niatan saya silaturrahmi ke pesantren ini semakin kuat. Sebab, saya merasa ada orang dalam yang bisa saya temui dan bisa menghantarkan blusukan di pesantren yang tak jauh dari makam Sunan Bonang ini.
Setelah sebelumnya mampir sejenak di Musala Ath-Thoyyibah, yang kini sedang direnovasi, saya kemudian bergeser sedikit kisaran ratusan meter ke arah timur. Maka, sampailah saya di pesantren paling tua di Tuban; Ash Shomadiyah, yang berlokasi di Jalan KH. Agus Salim nomor 44 Tuban, tepatnya di Kelurahan Kingking, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban.
Gus Dakhlan Ismail menyambut saya dan rombongan dengan sangat hangat. Di rumahnya yang masih terlihat kuno dengan bahan serba kayu jati, pembicaraan kami mengalir dengan lancar seolah kami sudah lama saling kenal.
Pembincangan terhenti ketika azan Magrib berkumandang. Kami sholat berjamaah di masjid pesantren. Usai sholat, kami menyempatkan ziarah ke makam keluarga besar pondok Ashomadiyah yang berlokasi di barat masjid. Inilah peziarahan saya untuk kali pertama di makam ini.
Usai ziarah, Gus Dakhlan Ismail menawarkan kepada kami sowan ke pengasuh. Sebagai tamu tentu kami manut saja apa kata tuan rumah. Kami lalu dihantar ke ndalem yang terletak di sisi selatan masjid agak ke timur.
Sesampainya di teras ndalem, tampak sosok lelaki bertubuh agak tambun sedang tidur-tiduran di ruang tamu. Melihat kedatangan kami, shohibul bait langsung berdiri lalu duduk bersila menemui kami. Beliau adalah Gus Reza, pengasuh Pondok Ashomadiyah yang sekarang.
Pemilik nama asli Agus Riza Shalihuddin Habibi, tersebut adalah keponakan dari KH. Ahmad Syifa’, pengasuh sebelumnya yang wafat pada 2009. Kiai Syifa’ atau kerap disapa Mbah Syifa’ sebenarnya punya satu putra. Namun ketika hendak menikah, putranya itu meninggal dunia. Tampuk kepemimpinan pondok akhirnya diserahkan kepada keponakannya, Gus Reza.
Di kediaman Gus Reza inilah durasi pembicaraan berlangsung cukup lama. Hampir dua jam lebih, beliau bercerita tentang ragam hal; dari tentang Mbah Ashomadiyah, Mbah Basyar, Mbah Syifa’, perjalanan pasang-surutnya pondok dari masa ke masa, sampai penyakit stroke yang pernah beliau alami pada 2019, dll.
Namun, menurut saya, salah satu paling yang menarik dari cerita Gus Reza, yang juga menantu KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) itu, adalah bahwa Mbah Ashomadiyah hidup semasa dan satu perjuangan dengan Pangeran Diponegoro (1785). Jika Mbah Shomadiyah bertugas mengurusi pendidikan masyarakat, maka Pangeran Diponegoro fokus ke urusan medan perang.
Setelah dirasa cukup sowan di ndalem Gus Reza, kami pun undur diri. Gus Dahlan Ismail kemudian membawa kami bersilaturrahmi ke salah satu kakeknya yang terletak di sebelah selatan makam Sunan Bonang. Awalnya kami hendak dibawa ke rumah Mbah Hamzah, tapi karena beliau sedang tak ada di rumah, kami akhirnya dibawa ke rumah Mbah Hanafi. Kakek berusia 70 tahun tersebut merupakan saudara dari mbah Hamzah.
Malam itu, silaturrahmi ke keluarga besar pondok Ashomadiyah, sungguh menyenangkan dan mengharukan. Banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga yang bisa saya petik, khususnya betapa penting dan berharganya silaturrahmi. Sebelum pulang, Gus Dahlan Ismail mengajak kami makan nasi pecel di utara alun-alun kota Tuban.
Pasca makan-makan, kami yang sejatinya dari awal merencanakan bahwa sebelum pulang dari Tuban akan berziarah dulu ke makam Sunan Bonang, tapi karena rasa capek bercampur kantuk yang tak tertahan, niat itu akhirnya kami urungkan. Kami pamitan dan langsung melanjutkan perjalanan pulang.
Begitulah. Sejatinya sudah sejak lama, saya berniat silaturrahmi ke Ponpes Ash Shomadiyah, Tuban. Pasalnya, saat saya masih duduk dibangku SD/MI, salah satu pengasuh pondok Ashomadiyah saat itu, KH. Ahmad Syifa’ atau Mbah Syifa’ (wafat tahun 2009), kerap ke rumah nenek saya, Mbah Hj. Ruqoyyah, yang juga asli dari Kingkin, Tuban.
Kebetulan, ibu saya adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di antara sekian banyak saudaranya yang laki-laki. Ibu dan bapak saya hidup serumah dengan si mbah. Karenanya, ingatan masa kecil itu begitu lekat tentang siapa saja yang datang bersilaturrahmi ke rumah.
Maka, ketika ibu melahirkan anak yang ke-4, Mbah Ruqoyyah-lah yang memberi nama adik saya itu dengan sebutan:
Muhammad Syifa'
. Konon, sebagai bentuk tabarrukan kepada pengasuh saat itu, yaitu KH. Ahmad Syifa’. Lebih dari itu, agar anak-cucunya kelak tetap menjaga tali silaturrahmi dengan dzurriyah pondok Ashomadiyah supaya jangan sampai lepas dan putus.
Wallahu a’lam bish-shawabi.

Penulis: Ahmad Jauhari, Pengurus Pondok Pesantren Tarbiyatul Wathon

π— π—˜π—‘π—¬π—œπ—‘π—šπ—žπ—”π—£ π— π—œπ—¦π—§π—˜π—₯π—œ π— π—”π—žπ—”π—  𝗠𝗕𝗔𝗛 π—žπ—”π—Ÿπ—•π—”π—žπ—”π—Ÿ

ALKISAH, di zaman dulu kala ada orang sedang membajak sawah. Ketika sapi dan alat bajaknya berputar-putar mengelilingi area sawah, tiba-tiba sapinya terhenti.

Orang itu lalu melakukan pemeriksaan, apa gerangan yang menyebabkan sapinya berhenti mendadak? Betapa kagetnya ia, begitu mengetahui alat bajak itu tersangkut sebujur mayat dengan kondisi jasad masih utuh.
Cerita di atas saya peroleh langsung dari bapak saya. Menurut abah (demikian anak-anaknya memanggil beliau), hikayat tentang makam Mbah Kabakal itu beliau terima secara turun-temurun.
Saya lalu bertanya:
β€œBah, Makam Mbah Kalbakal itu sebenarnya siapa?”
β€œWaktu abah masih kecil, sebagian masyarakat mengatakan beliau itu Sayyid.”
β€œSayyid siapa?”
β€œGak tahu. Pokoknya yang abah dengar, ya Sayyid gitu aja.”
Itulah sekelumit dialog saya dengan abah tentang Makam Mbah Kalbakal yang lokasinya persis di belakang
Ponpes Tarbiyatul Wathon
, Desa Campurejo, Kec. Panceng, Kab. Gresik.
Awalnya, masyarakat kami menyebutnya Mbah Cikal Bakal (artinya; pendiri desa). Mungkin untuk memudahkan pengucapan, warga desa akhirnya menjulukinya Mbah Kalbakal.
***
SEJAK saya masih bocah, makam ini sebenarnya sudah ada. Bahkan di masa orangtua, kakek, buyut saya kuburan ini sangat jelas keberadaanya. Bisa dikata, makam ini bukan baru ditemukan. Hanya saja tidak terawat dengan baik dan tak ada tanda-tanda orang berziarah.
Konon, dari warta yang saya peroleh dari beberapa rekan, sebetulnya ada segelintir warga yang pernah berziarah, tapi itupun secara sembunyi-sembunyi. Hal itu bisa dimaklumi, karena stigma buruk yang cukup melekat di masyarakat terhadap makam ini sangat kental. Misalnya; orang yang ke makam ini biasanya mencari nomor perjudian, minta pesugihan, memohon pengasihan, dll.
Dalam ingatan masa kecil saya, makam ini tampak jelas dari ruas jalan ketika saya hendak menuju ke lapangan desa, entah itu untuk bermain bola atau melihat pertandingan sepak bola. Posisi makam berada di area tengah sawah. Sebelah utara makam, tampak ada gubuk bambu yang berfungsi sebagai tempat istirahat sang penjaga sawah.
Seiring bergeraknya zaman perladangan itu pelan-pelan mulai beralih fungsi menjadi perumahan warga. Umumnya dari desa sebelah yang kekurangan lahan. Rumah-rumah lalu muncul berderet dengan batas tembok yang sesak. Makam ini kemudian tak lagi terlihat dari jalan karena tertutup oleh hunian padat.
***
PADA Maret 2011, hasil rapat pengurus Yayasan Tarbiyatul Wathon Gresik menyepakati pembangun musala, yang akan dilanjutkan pembangunan pondok pesantren.
(Sekedar catatan: Awalnya, Tarbiyatul Wathon hanya berupa lembaga formal/madrasah; TK/PAUD, MI, MTs, MA, Diniyah. Pada 2008, kepengurusan mengalami perubahan menjadi Yayasan Tarbiyatul Wathon Gresik. Sejak adanya yayasan itulah, tepatnya tahun 2014 berdiri pondok pesantren).
Nah, kebetulan tanah wakaf dari keluarga Almagfurlah H. Ro’yuddin (kakek saya) yang mau dibangun untuk musala pesantren itu letaknya ada di belakang madrasah. Karena berupa rawa, maka tanah seluas kisaran 40x60 meter itu tentu butuh diuruk terlebih dahulu dan urukan yang dibutuhkan tentu saja tak sedikit, kisaran 300 ritase truk.
Jika truk lewat dari pintu gerbang Tarbiytaul Wathon, jelas tidak mungkin, karena harus menjebol (mengorbankan) satu lokal kelas. Padahal jumlah lokal yang ada tak satupun yang tersisa. Kami pun akhirnya sepakat bahwa truk uruk akan melewati jalan menuju lapangan, melalui tanah kosong kemudian melewati samping makam Mbah Kalbakal yang hanya seorang diri dan tak ada makam yang lainnya.
Sebelum truk urukan didatangkan, saya survei lokasi terlebih dulu. Setelah itu saya menyempatkan diri duduk bersila di makam ini; mohon izin dan restu kepada pendiri desa. Itulah untuk kali pertama sejak saya lahir sampai dibesarkan di desa ini, berziarah ke makam Mbah Kalbakal, tepat di usia 33 tahun.
Makam Mbah Kalbakal, kala itu, hanya dikelilingi bata putih berbentuk kotak persegi panjang seluas 2x4 meter, baik ukuran ataupun warnanya terlihat sudah sangat lama. Bata putih itu hanya ditumpuk begitu saja tanpa pengikat pasir dan semen.
Di dalam kotak itu, saya melihat beberapa batang kayu yang sudah lapuk dan genteng merah yang dijajar menyandar ditembok bata putih. Saya menduga kayu dan genteng itu adalah bekas cungkup yang sudah rapuh dan akhirnya roboh.
Di samping kanan-kiri kotak makam terlihat berbagai jenis sampah berserakan dimana-mana. Mulai dari sampah rumah tangga, pecahan kaca, keramik, sampai-sampai ada pula jenis sampah dari kotoran manusia yang dibungkus plastik kresek. Sungguh memprihatinkan.
***
PEMBANGUNAN Musala Tarbiyatul Wathon berjalan 2 bulan dan sudah mencapai pondasi dan tiang penyangga.
Tiba-tiba sersiar kabar, keluarga Mbah H. Dullah, pemilik lahan yang dipergunakan Mbah Kalbakal sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, mewakafkan tanahnya ke pemerintahan desa (Lurah saat itu H. Aminuddin Aziz). Dengan harapan agar dibangun mushala bagi warga setempat. Pihak desa lalu menyerahkan pembangunan kepada masyarakat sekitar makam.
Karena pihak Yayasan Tarbiyatul Wathon sudah telebih dahulu membangun musala di timur makam, maka kami (pengurus yayasan dan warga sekitar makam) kemudian bersinergi membangun secara bersama-sama.
Bisa dimaklumi, karena antara makam Mbah Kalbakal dan musala Tarbiyatul Waton hanya berjarak 15 meter. Maka, kami membangun dua musala secara bersamaan. Yang satu untuk pondok dan yang satunya lagi untuk masyarakat sekitar.
03 Juli 2011, mushala dan makam Mbah Kalbakal mulai dibangun. Beruntung, saat itu saya sudah memegang hp camera. Di hari pertama tukang memulai perkerjaannya, saya sempat mengabadikan kondisi awal makam sebelum direnovasi. Andai saja saya lupa memotret, bisa hilang prasasti lama yang sangat bersejarah ini.
Nah, sekitar seminggu pembangunan berlangsung, saya mengalami kejadian ganjil. Waktu saya memantau pekerjaan tukang, di telinga kanan saya ada suara orang sepuh berbisik lembut dan lirih; β€œLe, deresen maneh Qurane.” (Nak, Alquran-nya dibaca lagi).
Terus terang saya kaget. Sebab tak ada seorang pun di sekitar saya. Sambil toleh-toleh saya pun bertanya-tanya dalam hati: suara siapakah gerangan yang mengingatkan saya tadi? Seumur hidup baru kali ini saya mengalaminya.
Sekitar sepuluh menit setelah peristiwa aneh itu, saya lalu menjauh dari area makam menuju ke sisi selatan, tepatnya di tepi tambak yang terhampar cukup luas. Saya lalu duduk dan merenung seorang diri. Di situlah saya merasa banyak sekali amaliah yang kerap diajarkan oleh orangtua, guru, kiai di pondok dulu, telah lama saya tinggalkan, salah satunya adalah mendaras Alquran.
Jujur, saya baru tersadar; ternyata selama ini saya terlena dan hanya disibukkan oleh pekerjaan. Cari uang dan uang. Alhamdulillah, pasca kejadian janggal itu saya mulai berbenah diri. Pelan-pelan saya mulai mengaji Alquran lagi. Minimal tiga surah yang termaktub dalam Majemuk Lathif; Surah Yasin, Waqiah, dan Al-Mulk.
***
KAMI bersyukur, pembangunan musala dan Makam Mbah Kalbakal berjalan dengan lancar. Bahkan, pertengahan proses pembangunan, keluarga Mbah H. Dullah menambah satu kapling tanah persis di depan makam yang bisa difungsikan sebagai tempat untuk para peziarah.
Dimulai Juni dan berakhir di awal Desember 2011, pembangunan tiga fungsi dalam satu atap; musala, makam, dan tempat peziarah, dapat kami dirampungkan. Panitia merasakan banyak sekali kemudahan tak terduga selama perjalanan pembangunan enam bulan berjalan. Termasuk dari hamba-hamba Allah yang merelakan sebagian hartanya untuk dijariyahkan.
Pasca pembangunan, panitia kemudian melakukan rapat dan menghasilkan keputusan akan menggelar acara haul, peresmian, sekaligus peringatan 1 Muharrom, pada 12 Desember 2011. Panitia juga sepakat akan mengundang H. Khusairi, ahli Seni Kentrung asal Solokuro, Lamongan.
Di wilayah Gresik dan Lamongan, nama H. Khusairi sangat masyhur sebagai pakar Seni Kentrung. Karena keahliannya itu, ia kerap diundang di desa-desa sekitar wilayah pantura. Pria paruh baya, yang konon masih bersambung nasabnya dengan Sunan Drajat itu, piawai memainkan Seni Kentrung dengan diiringi alat musik berupa tabuh timlung (kentheng) dan terbang besar (rebana).
Seni Kentrung sarat muatan ajaran kearifan lokal. Dalam pementasannya, seorang seniman kentrung menceritakan urutan pakem dengan rangkaian parikan dan menyelipkan candaan-candaan lucu di tengah-tengah pakem, tetapi tetap dengan parikan yang seolah dilakukan di luar kepala.
Masih lekat dalam ingatan saya, dalam pementasan Seni Kentrung itu, H. Khusairi bercerita tentang banyak hal. Diantaranya; Syekh Subakir ke tanah Jawa membawa 1.000 ulama dari Timur Tengah. Karena saking ganasnya demit setan peripayangan (istilah jawanya: jalmo moro jalmo mati), ulama yang dibawa Syekh Subakir tersebut meninggal semua. Yang tersisa hanya sepuluh orang, dan salah satunya di makamkan di tempat ini. Selain itu, dia juga memaparkan bahwa semua wali songo pernah berziarah ke makam ini.
Ketika cerita-cerita di atas itu saya tanyakan kepadanya, kala bersilaturrahmi ke rumahnya, beliau hanya menjawab, β€œSaya tak faham. Seringkali ketika Seni Kentrung dimulai saya gak sadar dengan apa yang saya ceritakan.”
Tapi, kata H. Khusairi, sehari sebelum menghadiri undangan, malam harinya ia biasanya melakukan riyadhoh terlebih dulu di rumah. Hal tersebut adalah tahapan penting yang harus dijalani sebelum menggelar pertunjukan Seni Kentrung. Tata cara itu tak boleh diabaikan begitu saja karena merupakan warisan leluhurnya sejak dari Sunan Drajat.
Malam itu (12/12/2011), perhelatan peresmian musala dan makam Mbah Kalbakal berlangsung dengan cukup khidmat. Acara dipungkasi dengan doa oleh KH. Abu Bakar dari Jatirogo, Tuban. Ketika memimpin doa, suara lembut Kiai Abu Bakar begitu menusuk di kalbu. Di tengah-tengah doa tak terasa mata saya berkaca-kaca.
***
PADA 2013, panita mengadakan haul ke-2 sekaligus peringatan 1 Muharram. KH. Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali) yang diundang sebagai penceramah berkenan hadir dan memberikan tausiyah. Pengasuh ponpes Bumi Sholawat, Sidoarjo, itu menyampaikan beberapa pencerahan yang cukup panjang lebar.
Namun, saat beliau mau menyebutkan nama asli siapa sesungguhnya yang ada makam ini, tiba-tiba mikrofon yang dipegang Gus Ali terjatuh. Setelah mengambil mikrofon dari lantai, beliau berkata; β€œWes yo, gak tak terosno... jenenge Kalbakal iku wae. Sepurane, beliau gak berkenan disebut asmane,” (Ya udah tidak usah saya teruskan. Namanya Kalbakal itu aja. Mohon maaf, beliaunya tidak berkenan disebut namanya).
Acara pada Desember 2013 itu berlangsung dengan lancar dan menggembirakan. Lagi-lagi KH. Abu Bakar didaulat untuk memimpin doa. Setelah acara, para kiai dan tokoh masyarakat yang hadir berkumpul bersama di rumah Ibu
Tutik Mahmudah
untuk melaksanakan ramah-tamah.
***
SEJAK 2014, KH. Abu Bakar adalah salah satu kiai yang kerap berziarah ke makam ini. Beliau tergolong kiai sepuh yang sudah malang melintang di dunia persarkuban. Nama beliau sangat masyhur di kalangan pecinta makam (sarkub). Namanya juga termaktub dalam prasasti pengukuhan makam Maulana Ishak (ayah Sunan Giri) yang berada di Kemantren, Paciran, Lamongan.
Jika ke makam ini, Kiai Abu Bakar terkadang hanya berdua dengan santrinya atau supirnya. Sesekali beliau bersama sahabatnya sesama kiai. Seingat saya, salah satu kiai yang pernah diajak oleh beliau adalah KH. Abdul Matin (Wakil Rois Syuriah PWNU Jatim dan Ketua Umum MUI Tuban serta Pengasuh Ponpes Sunan Bejagung, Tuban).
Setiap kali Kiai Abu Bakar ke makam ini, hampir dapat dipastikan selalu mengabari saya. Beberapa kali kami menghabiskan malam bersama ditemani kopi dan gorengan. Tak jarang warga sekitar juga ikut bercengkrama. Biasanya, kami hanya menjadi pendengar setia ketika beliau menceritakan makam-makam auliya’ yang pernah diziarahinya.
Suatu malam, Kiai Abu Bakar bercerita bahwa salah satu tugas terberat Mbah Kalbakal adalah menaklukkan bajak laut. Padahal bajak laut zaman dahulu kala terkenal sakti mandraguna. Atas kuasa Allah, Mbah Kalbakal berhasil menaklukan kebrangasan mereka. Bahkan, konon tak sedikit diantara bajak laut itu insaf kemudian menjadi santrinya.
Pada suatu malam yang lain, setelah riyadhah di makam ini, beliau bercerita tentang hasil riyadhahnya: β€œSelama hampir berpuluh-puluh tahun saya berpetualang dari makam satu ke makam lainnya, inilah makam yang saya cari-cari.”
Makam ini, menurut Kiai Abu Bakar, memiliki nasab yang paling tinggi ke Rasulullah SAW.” Saya, yang saat itu ditemani adik
Muhammad Syifa'
, begitu khusyuk mendengarkan pitutur-pitutur beliau, sambil sesekali nyeruput kopi yang ada di depan kami.
***
ITULAH beberapa cerita yang bisa saya rangkum tentang sejarah pembangunan makam dan sedikit menyingkap siapa sejatinya Mbah Kalbakal. Penulisan ini adalah wujud dari ikhtiar agar hikayat-hikayat yang saya ketahui tak semakin tercecer dan hilang dalam ingatan.
Ya... Karena lebih banyak mengandalkan ingatan itulah, maka tak heran jika di sana-sini ada saja yang terlewatkan dan terlupakan. Bahkan, tak menutup kemungkinan banyak mengandung kelemahan.
Setahu saya, khusus mengenai sejarah mengenal makam-makam auliya, ada tiga sumber rujukan sejarah. Pertama, mitos dan tuturan lisan turun-temurun. Kedua, sejarah resmi yang tertulis seperti manuskrib atau babad sejarah peninggalan masa lalu. Ketiga, wahyu dalam arti petunjuk atau informasi dari Allah. Dalam hal ini yang dimaksud di antaranya adalah ilham yang diterima oleh orang-orang saleh.
Nah, jika merujuk di atas, apakah Makam Mbah Kalbakal sudah memenuhi syarat?
***
TAK terasa, satu dasawarsa sudah pembukaan makam Mbah Kalbakal ini berlalu. Meski masih terkesan mesterius, tapi saya patut mengucapkan terima kasih atas kerawuhan tamu jauh yang sudah berkenan menziarahi makam ini.
Ada tamu dari Jogja, pengampu pondok Kaliopak: Kiai
Muhammad Jadul Maula
. Ada pula kiai nyentrik asal Guluk-Guluk, Sumenep, Madura: Kiai
M Faizi
.
Gus
Sullamul Hadi Nurmawan
(Sidoarjo), Gus
Kholilul Rohman Ahmad
(Magelang), Gus
Buya Assoiy
(Lamongan),
Alhamdulillah
juga pernah ke sini. Kawan-kawan IKASUKA Gresik:
Nur Faizah
,
Andik Hidayat
,
Ali Rohman
,
D'timboel Fuad
, dll, terima kasih sudah pernah singgah ke tempat ini.
Saudara-saudaraku di
Iksass
Rayon PANTURA;
Keila Astaghitsa
,
Shohibul Hamad
,
Suminto Crk
,
Azmil Sukmo
,
W Mahmudah
,
OemZet Umu Zainab
, dll, matur numan atas kerawuhannya. Monggo jika kita luang bersama-sama Rotibul Haddad-an di sini.
Akhir kalam, izinkan saya menceritakan salah satu pengalaman saya terkait dengan makam ini:
Sepulang dari ibadah haji 2012, sekitar dua minggu saya di rumah, kebetulan tamu pengunjung haji sudah mulai sepi. Kira-kira pukul 23.00 hasrat berziarah ke makam Mbah Kalbakal seakan tak terbendung.
Suara hati segera saya turuti dan saya pun segera berangkat ke makam. Tak lupa saya membawa minyak wangi, yang khusus saya beli di Madinah Al-Munawwarah dengan niatan memang akan saya tabur di makam ini. Setelah membaca Surah Yasin dan Tahlil, saya pun pulang karena rasa kantuk yang tak bisa ditahan lagi.
Sesampainya di rumah saya langsung tidur. Dalam tidur itu saya bermimpi. Posisi saya di hotel Madinah dimana saya menginap saat haji. Begitu keluar dari kamar, saya disambut sosok berjubah hijau. Wajahnya penuh dengan cahaya. Saya tak mampu menatapnya. Saya lalu masuk lagi ke kamar hotel.
Saya pun terbangun dan tak bisa tidur lagi...
Wallahu a’lam bish-shawabi.

Penulis: Ahmad Jauhari, Pengurus Yayasan Tarbiyatul Wathon Gresik.