Kamis, 18 Februari 2021

KH. RO’YUDDIN BIN SARIDLO


Campurejo merupakan nama sebuah Desa yang terletak di daerah pesisir utara pulau Jawa, masuk wilayah Kabupaten Gresik, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan. Penduduk yang berada di sepanjang pesisir sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, ada juga yang berprofesi sebagai petani, pedagang, dan profesi lainnya.

Desa ini menyimpan segudang cerita tentang cikal bakal para ulama besar, yang di masa mudanya menimba dan mendalami ilmu agama, kemudian mereka berdakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai daerah dan istiqamah berdomisili di berbagai wilayah. Rata-rata mereka menjalani hidup dengan sederhana.

Berbicara soal “sederhana”, saya teringat sosok yang begitu bersahaja pendiri Ponpes Tarbiyatul Wathon, yaitu KH. Ro’yuddin, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Din”, ada pula yang menyebutnya “Mbah Raidin atau Mbah Saridin”. Membicarakan Mbah Din, maka selalu kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Almarhum Almaghfurlah KH. Moh. Akhwan Alwi (menantunya) pernah bercerita kepada saya sewaktu saya sowan ke ndalemnya. Dalam ceritanya, acap kali Mbah Din ketika tahu banyak bangku yang rusak langsung diperbaiki. Tiap kali ke madrasah selalu naik sepeda onthel sambil membawa alat-alat tukang; palu, paku, tang, gergaji, dan lain-lain.

Mbah Din merupakan sosok yang memiliki kepedulian tinggi terhadap orang lain. Semua murid tidak luput dari pengawasan dan perhatiannya. Sering kali bersama murid-muridnya melakukan ro’an; menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, dan lain sebagainya. Bayangkan, seorang kiai sekaligus tokoh agama dan masyarakat masih menyempatkan melakukan pekerjaan yang menurut saya sepele tapi penting! Suatu tindakan yang jarang ditemui saat ini.

Dalam suatu riwayat, Gus Ahmad Jauhari (putra KH. Moh. Akhwan Alwi) yang kebetulan akrab dengan saya pernah bercerita, Sejak kecil Mbah Din sudah ditinggal wafat oleh bapaknya, yaitu Mbah Saridlo. Sejak itu beliau mondok di Pondok Pesantren Al Karimi Tebuwung Dukun yang diasuh oleh KH. Abdul Karim. Di sana beliau bertemu guru spiritual namanya KH. Murtadlo atau lebih dikenal dengan sebutan “Mbah Tolo”. Riwayat lain juga pernah dituturkan oleh Gus Husein, beliau mengatakan bahwa KH. Murtadlo adalah adik kandung KH. Musthofa Kranji (Pendiri Ponpes Tarbiyatut Tholabah).

Setelah menempuh pendidikan di Ponpes Al Karimi, Mbah Din langsung mengabdikan diri mengajar ngaji di Musholla “Al Inayah” miliknya. Kemudian menikah dengan Nyai Hj. Ruqoyyah asal Tuban dan dikaruniai putra-putri sebanyak 11 orang. Namun  yang hidup sampai dewasa hanya 6 orang yaitu; Ahmad Zain Thoha, Zawawi Thoha, Abdul Mughni Thoha, Zuhdi Thoha, Sufyan Thoha dan Sulaihah Thoha. Pada waktu mengajar beliau dibantu oleh kedua putranya yaitu KH. Ahmad Zain Thoha dan KH. Zawawi Thoha yang waktu itu baru saja pulang dari Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji. Tidak lama berselang kedua putranya melanjutkan mondok lagi di Ponpes Tebuireng Jombang. Untuk menggantikannya mengajar di Musholla Al Inayah, beliau meminta bantuan kawan akrabnya di Ponpes Tarbiyatut Tholabah yaitu KH. Thohir. Menurut cerita Gus Husein (putra KH. Ahmad Zain Thoha), mengatakan bahwa KH. Thohir adalah kakak kandung KH. Moh. Baqir Adelan (Pengasuh Ponpes Tarbiyatut Tholabah).

Pada waktu KH. Ahmad Zain Thoha dan KH. Zawawi Thoha sowan ke ndalem Ponpes Tarbiyatut Tholabah untuk menjemput KH. Thohir, KH. Thohir sedang mondok di Langitan Tuban. Mengetahui KH. Thohir berada di Langitan, mereka langsung menyusulnya kesana dan meminta untuk mengajar di Musholla Al Inayah. Bertahun-tahun berjalan Musholla tersebut berkembang menjadi Pondok Pesantren Tarbiyatul Wathon.

Sisi lain dari kesederhanaan Mbah Din adalah terlihat dari pakaiannya. Semasa hidupnya pakaian beliau ala kadarnya laiknya seorang petani desa. Menurut pengakuan Gus Muhammad Syifa’ (Putra Ibu Sulaihah Thoha), mengatakan bahwa kebiasaan Mbah Din sewaktu di rumah ketika malam tiba dan telah sepi, beliau tidak langsung masuk kamar untuk tidur atau istirahat. Beliau lebih suka tidur di ruang depan, duduk-duduk atau mengambil tempat di lantai dan merebahkan tubuhnya. Beliau tidak pernah pilih-pilih tempat.

Mbah Din, dalam mengabdikan dirinya memperjuangkan agama, memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi problema. Beliau sangat ulet dan bersahaja dalam mendidik murid-muridnya. Tak heran, dikemudian hari banyak murid berdatangan dari berbagai daerah. Gus Muhammad Bisri (adik Gus Husein) pernah bercerita kepada saya, “Mbah Din ketika mendidik murid-muridnya dan membimbing masyarakat setempat, dibantu oleh KH. Abdurrahman dari Payaman, yang waktu itu hijrah ke Campurejo karena menikah dengan kerabatnya. Mereka sudah biasa berbagi ide, pikiran, tenaga maupun materi”.

Selain itu, kenangan Mbah Din yang paling dikagumi banyak orang sampai sekarang adalah ketika membangun Gedung Tua Madrasah sebelah utara. Hanya dengan pasir laut dan minim perekat sampai sekarang masih tetap kokoh. Gedung Tua yang didirikan sejak sekitar tahun 1960-an itu dibangun secara gotong royong bersama para murid dan masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa Mbah Din dalam mengayomi masyarakat selalu menjunjung tinggi kebersamaan.

Demikian cerita singkat ini saya tulis dengan penuh kehati-hatian, mudah-mudahan ada guna dan manfaatnya. Atas segala kekurangan dan kesalahan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tak lupa kepada para pembaca yang budiman, kritik dan saran sangat penulis harapkan.

Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan memberkahi kita semua. Amin.

Campurejo, 15 Juli 2019

Penulis: Moh. Bahrul Ulum, Khodimul Ma'had Tarbiyatul Wathon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar