Jumat, 12 Februari 2021

SILATURRAHMI KE PONPES ASH SHOMADIYAH TUBAN

Seandainya, Gus
Atok Witono
, tak pernah mengunggah status tentang Ponpes Ash Shomadiyah, di akun Fb-nya, bisa jadi saya belum sampai ke pesantren ini.
Di postingan bertarikh 1 Februari 2021 itu, saya turut ditandai. Lumayan banyak komen yang mampir di unggahan itu. Salah satunya dari akun atas nama Elfash MY. Ia lalu nge-tag Gus
Dakhlan Ismail
di dalam salah satu komennya.
Karena rasa penasaraan, saya lalu chattingan dengan Gus Dahlan Ismail via inbox dan berlanjut saling tukar no WA. Nah, dari situlah niatan saya silaturrahmi ke pesantren ini semakin kuat. Sebab, saya merasa ada orang dalam yang bisa saya temui dan bisa menghantarkan blusukan di pesantren yang tak jauh dari makam Sunan Bonang ini.
Setelah sebelumnya mampir sejenak di Musala Ath-Thoyyibah, yang kini sedang direnovasi, saya kemudian bergeser sedikit kisaran ratusan meter ke arah timur. Maka, sampailah saya di pesantren paling tua di Tuban; Ash Shomadiyah, yang berlokasi di Jalan KH. Agus Salim nomor 44 Tuban, tepatnya di Kelurahan Kingking, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban.
Gus Dakhlan Ismail menyambut saya dan rombongan dengan sangat hangat. Di rumahnya yang masih terlihat kuno dengan bahan serba kayu jati, pembicaraan kami mengalir dengan lancar seolah kami sudah lama saling kenal.
Pembincangan terhenti ketika azan Magrib berkumandang. Kami sholat berjamaah di masjid pesantren. Usai sholat, kami menyempatkan ziarah ke makam keluarga besar pondok Ashomadiyah yang berlokasi di barat masjid. Inilah peziarahan saya untuk kali pertama di makam ini.
Usai ziarah, Gus Dakhlan Ismail menawarkan kepada kami sowan ke pengasuh. Sebagai tamu tentu kami manut saja apa kata tuan rumah. Kami lalu dihantar ke ndalem yang terletak di sisi selatan masjid agak ke timur.
Sesampainya di teras ndalem, tampak sosok lelaki bertubuh agak tambun sedang tidur-tiduran di ruang tamu. Melihat kedatangan kami, shohibul bait langsung berdiri lalu duduk bersila menemui kami. Beliau adalah Gus Reza, pengasuh Pondok Ashomadiyah yang sekarang.
Pemilik nama asli Agus Riza Shalihuddin Habibi, tersebut adalah keponakan dari KH. Ahmad Syifa’, pengasuh sebelumnya yang wafat pada 2009. Kiai Syifa’ atau kerap disapa Mbah Syifa’ sebenarnya punya satu putra. Namun ketika hendak menikah, putranya itu meninggal dunia. Tampuk kepemimpinan pondok akhirnya diserahkan kepada keponakannya, Gus Reza.
Di kediaman Gus Reza inilah durasi pembicaraan berlangsung cukup lama. Hampir dua jam lebih, beliau bercerita tentang ragam hal; dari tentang Mbah Ashomadiyah, Mbah Basyar, Mbah Syifa’, perjalanan pasang-surutnya pondok dari masa ke masa, sampai penyakit stroke yang pernah beliau alami pada 2019, dll.
Namun, menurut saya, salah satu paling yang menarik dari cerita Gus Reza, yang juga menantu KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) itu, adalah bahwa Mbah Ashomadiyah hidup semasa dan satu perjuangan dengan Pangeran Diponegoro (1785). Jika Mbah Shomadiyah bertugas mengurusi pendidikan masyarakat, maka Pangeran Diponegoro fokus ke urusan medan perang.
Setelah dirasa cukup sowan di ndalem Gus Reza, kami pun undur diri. Gus Dahlan Ismail kemudian membawa kami bersilaturrahmi ke salah satu kakeknya yang terletak di sebelah selatan makam Sunan Bonang. Awalnya kami hendak dibawa ke rumah Mbah Hamzah, tapi karena beliau sedang tak ada di rumah, kami akhirnya dibawa ke rumah Mbah Hanafi. Kakek berusia 70 tahun tersebut merupakan saudara dari mbah Hamzah.
Malam itu, silaturrahmi ke keluarga besar pondok Ashomadiyah, sungguh menyenangkan dan mengharukan. Banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga yang bisa saya petik, khususnya betapa penting dan berharganya silaturrahmi. Sebelum pulang, Gus Dahlan Ismail mengajak kami makan nasi pecel di utara alun-alun kota Tuban.
Pasca makan-makan, kami yang sejatinya dari awal merencanakan bahwa sebelum pulang dari Tuban akan berziarah dulu ke makam Sunan Bonang, tapi karena rasa capek bercampur kantuk yang tak tertahan, niat itu akhirnya kami urungkan. Kami pamitan dan langsung melanjutkan perjalanan pulang.
Begitulah. Sejatinya sudah sejak lama, saya berniat silaturrahmi ke Ponpes Ash Shomadiyah, Tuban. Pasalnya, saat saya masih duduk dibangku SD/MI, salah satu pengasuh pondok Ashomadiyah saat itu, KH. Ahmad Syifa’ atau Mbah Syifa’ (wafat tahun 2009), kerap ke rumah nenek saya, Mbah Hj. Ruqoyyah, yang juga asli dari Kingkin, Tuban.
Kebetulan, ibu saya adalah anak bungsu dan satu-satunya perempuan di antara sekian banyak saudaranya yang laki-laki. Ibu dan bapak saya hidup serumah dengan si mbah. Karenanya, ingatan masa kecil itu begitu lekat tentang siapa saja yang datang bersilaturrahmi ke rumah.
Maka, ketika ibu melahirkan anak yang ke-4, Mbah Ruqoyyah-lah yang memberi nama adik saya itu dengan sebutan:
Muhammad Syifa'
. Konon, sebagai bentuk tabarrukan kepada pengasuh saat itu, yaitu KH. Ahmad Syifa’. Lebih dari itu, agar anak-cucunya kelak tetap menjaga tali silaturrahmi dengan dzurriyah pondok Ashomadiyah supaya jangan sampai lepas dan putus.
Wallahu a’lam bish-shawabi.

Penulis: Ahmad Jauhari, Pengurus Pondok Pesantren Tarbiyatul Wathon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar